Mari berbagi cinta.

Mungkin itulah frase yang tepat yang dapat mewakili keseluruhan tentang SEJIWA dalam tiga kata.

Sudah empat tahun ini SEJIWA berjuang melawan bullying bersama-sama dengan Diknas, para orang tua murid dan guru, adik-adik pelajar, dan para pemerhati pendidikan dari berbagai lini. Kini sudah ribuan hati tersentuh dan terobati. Mudah-mudahan akan lebih banyak lagi.

Selamat menggunakan blog ini dan menuai cinta dan harapan daripadanya.

Let’s share love today!

Tuesday, November 11, 2008

Sikap Guru Terhadap Bullying (Bagian 2)

Ada hambatan yang dirasakan para guru sehubungan dengan kondisi anak-anak didik mereka saat ini, yaitu sulitnya mengelola mereka . Siswa/i yang mereka tangani sekarang memiliki karakter yang berbeda dari mereka ketika seusia anak didik mereka dulu.

Anak-anak sekarang lebih kritis, lebih terbuka, tidak mudah menerima masukan-masukan kecuali dengan cara yang mereka dapat terima. Dahulu, peranan guru dalam mendidik kita amatlah dominan, karena guru amatlah dihargai. Kini, anak-anak didik kita lebih ekspresif, dan cenderung hanya akan menghormati orang bila orang tersebut menunjukkan perilaku yang dapat mereka terima, termasuk guru-guru mereka.

Anak anak kita cukup banyak terekspos oleh tampilan-tampilan kekerasan di TV, kejadian-kejadian di rumah maupun di masyarakat yang mengutamakan kepentingan-kepentingan ego semata. Bahkan beberapa diantara mereka kehidupannya terekspos oleh koneksi dengan dunia luar melalui internet. Dari situ mereka belajar ekspresi ekspresi kasar maupun perilaku-perilaku yang tak sopan, dan nilai-nilai lain dari yang kita tanamkan di rumah. Bila orangtua tidak cukup akrab dengan putra-putri mereka, maka pengaruh-pengaruh luar ini akan membuat anak anak kita lebih sulit untuk dikontrol, yang memacu bullying untuk terjadi diantara mereka.

Tujuan kita mendidik anak di sekolah adalah untuk mengajak mereka mencapai aktualisasi diri mereka. Kita menginginkan mereka maju secara akademis, tetapi juga tumbuh subur keluhurannya (santun, peduli, bertanggung jawab, dan menghormati sesama).

Dengan kondisi lapangan yang tidak mudah seperti tergambar di atas, pertanyaan bagi kita, para pendidik adalah: “Bagaimanakah kita dapat menciptakan atmosfir di sekolah yang dapat menumbuhkan sekaligus mendisiplinkan anak didik?”; “Bagaimanakah kita dapat “mengontrol” anak anak kita, namun tetap dalam atmosfir yang membuat mereka terpacu belajar, dan mengembangkan rasa percaya diri serta kesantunan yang tinggi sebagai pembekalan agar mereka mampu berkiprah kelak di masyarakat secara efektif.

Terhadap pertanyaan di atas, beberapa guru menerjemahkannya melalui pendekatan yang salah. Mereka memukul maupun membentak anak-anak agar patuh. Mereka justru melakukan tindakan bullying kepada anak didik mereka. Jalan seperti ini justru menciptakan rasa takut yang menekan pada sebagian anak, maupun pemberontakan pada sebagian anak yang lain. Keduanya tak akan menimbulkan kepatuhan terhadap peraturuan-peraturan seperti yang kita harapkan.

Reaksi seorang anak ketika ia diminta menggambar sesuai apa yang ada pada benaknya (penelitian Plan Indonesia, 2006, di NTB), ia menggambar seorang tentara. Saat diskusi ia mengungkapkan alasannya bahwa dia ingin membalas memukul gurunya yang sering mengerasinya kalau ia jadi tentara. Dengan demikian, telah tergambar pada kita, betapa dalam memori negatif pada alam bawah sadarnya karena perilaku guru tersebut, sehingga ia menyimpan dendam seperti itu. Bila kekerasan bukanlah jawaban untuk mendisiplinkan anak didik kita, adakah jalan keluarnya?

Penulis ingin mengajukan usulan penerapan “tough love” di sekolah. “Tough love” didasari oleh penerapan nilai-nilai disiplin, respek, kesantunan dan kepedulian, baik dari guru terhadap anak dan sebaliknya. Pendekatan ini mengajak anak didik untuk menunjukkan standard prestasi yang tinggi, tetapi untuk mencapai hal ini guru juga menciptakan dukungan agar hal tersebut dapat dicapai. Pendekatan ini menuntut seorang guru untuk menjadi suri tauladan, yang mampu membangun dialog dan hubungan positif dengan anak didik, sembari mengatasi masalah-masalah disiplin secara langsung dengan cara yang adil dan menghargai. “Tough love” berbeda dengan sekedar menjadi “tough” (tegas).

Tough love” melibatkan pendisiplinan yang positif dan mengembangkan anak didik, dimana mereka sadar akan kesalahan mereka, melalui proses dialog yang menyentuh mereka. Kesalahan-kesalahan mereka dikoreksi dengan cara yang tidak melecehkan mereka. Penalti yang dilakukan bisa cukup tegas bila pelanggaran cukup serius, misalnya dengan cara tak boleh mengikuti pelajaran untuk beberapa saat, dipanggil orang tuanya, atau tindakan tindakan lain yang lebih tegas. Yang terpenting adalah semua penalti tersebut dilakukan dengan tetap menerapkan nilai-nilai respek dan kesantunan.

Bila hal ini dilakukan secara konsisten oleh para guru, anak-anak didik kita akan dapat melihat bahwa guru-guru mereka sebenarnya peduli terhadap mereka, sekaligus ingin agar mereka sukses dan berkembang. Mereka akan dapat menerima ketegasan karena mereka dapat merasakan cinta pula dibalik itu. Mereka tidak akan melihat bahwa teguran yang dilakukan seperti itu akan melecehkan atau diluar proporsi yang seharusnya. Mereka akan merespek dan menyukai guru seperti ini, sehingga mereka akan dengan rela merubah perilaku negatifnya menjadi positif dan mudah diajak bekerjasama.

Hal ini akan memudahkan guru untuk mengontrol mereka hanya dengan kata-kata yang sederhana, namun akan didengar dan dituruti anak didik yang telah mempercayai dan merespek dirinya. Kombinasi antara “Love” dan “Toughness” (ketegasan) ini akan jauh lebih kuat dampak positifnya daripada sekedar menerapkan “toughness” saja. “Tough love” akan membentuk guru-guru yang selalu memandang perlu untuk menyentuh hati dan kalbu anak melalui sikap dan perilakunya yang penuh kebijaksanaan.

Mereka akan menjadi cahaya bagi anak-anak yang kekurangan kasih sayang. Mereka akan menjadi harapan bagi anak-anak yang kurang beruntung memiliki orangtua yang kurang mengasihi dan menghargai mereka. Mereka akan menjadi penuntun dan penguat bagi anak anak yang penuh dengan beban dan tekanan yang mereka hadapi sehari-hari. Guru-guru yang bercahaya ini akan mendorong anak-anak kita untuk belajar disiplin, berkreasi, dan tumbuh sebagai manusia yang cerdas, santun dan bertanggung jawab, karena mereka memiliki contoh-contoh di depan mata mereka. Mereka akan belajar keduanya: berdisiplin, sekaligus mencintai.
Dalam penerapan “tough love” ini, para guru perlu membekali diri dengan ISADA (ikhlas, sabar dan damai) dalam menjalani profesi mereka, sehingga semuanya dilakukan dengan tanpa beban dan kesadaran penuh akan amanah yang mereka emban sebagai pendidik. Di bawah ini penulis menyampaikan beberapa manfaat akan penerapan “tough love” ini, sebagai berikut:
  • Atmosfir sekolah akan semakin damai bagi anak anak untuk belajar dan tumbuh.

  • Guru-guru akan semakin merasakan keindahan dalam pelaksanaan tugas-tugas mereka sebagai panutan bagi anak didik mereka.

  • Terciptanya anak didik yang dapat berinteraksi satu sama lain dengan penuh kesantunan dan kepedulian.

  • Sekolah akan kondusif bagi tercapainya aktualisasi diri anak didiknya (cerdas, kreatif dan luhur).

  • Anak didik akan memiliki kesan yang positif dan kuat akan sekolahnya.

  • Sekolah akan menjadi contoh bagi para anak didiknya akan adanya “masyarakat kecil” yang nyaman dan penuh kasih sayang, sehingga mereka memiliki gambaran tentang masyarakat besar yang kita berharap dapat mereka ciptakan ketika mereka berkiprah kelak di masyarakat.
Ada puisi pendek yang dituliskan oleh seorang siswi (Fitria) setelah ia mendengar bahasan kami tentang bullying di sebuah stasiun radio swasta di Jakarta, sebagai berikut

“Seuntai kasih membuat kita sayang,
seucap janji membuat kita percaya
Sekecil luka membuat kita kecewa,

sepucuk cinta membuat hidup lebih bermakna”

Semoga bukan luka yang kita torehkan di hati anak didik kita, tetapi cinta dan kasih yang dapat membuat hidup mereka lebih bermakna. Akhir kata, penulis ucapkan “selamat berkarya” bagi sahabat-sahabat guru yang dimuliakan Allah. Semoga kita semua mampu memuliakan anak didik kita dan menjadi inspirasi bagi anak didik kita agar mereka mampu menjadi insan yang luhur. Semoga semangat kita semua semakin menyala untuk memberikan yang terbaik bagi anak didik kita.

Tulisan ini dibuat oleh :
Diena Haryana

Ketua SEJIWA (Yayasan Semai Jiwa Amini)

No comments:

Post a Comment