Mari berbagi cinta.

Mungkin itulah frase yang tepat yang dapat mewakili keseluruhan tentang SEJIWA dalam tiga kata.

Sudah empat tahun ini SEJIWA berjuang melawan bullying bersama-sama dengan Diknas, para orang tua murid dan guru, adik-adik pelajar, dan para pemerhati pendidikan dari berbagai lini. Kini sudah ribuan hati tersentuh dan terobati. Mudah-mudahan akan lebih banyak lagi.

Selamat menggunakan blog ini dan menuai cinta dan harapan daripadanya.

Let’s share love today!

Tuesday, December 30, 2008

Makna dalam Duka

Respon artikel Republika, “Hukuman Fisik, Masihkah Perlu”, 28 Desember


Bukan Hal Baru

Bukan kejutan sebenarnya ketika membaca artikel di Republika, 28 Desember kemarin (baca Republika On Line
http://republika.co.id/berita/22340.html). Dan hal ini pun terjadi di Indonesia dengan pola dan motif yang berbeda-beda. Tidak hanya oleh guru terhadap murid, namun juga orang tua kepada anak.

Pada umumnya orang dewasa yang melakukan tindak kekerasan pada anak berdalih ingin membuat jera si anak hingga kurang mempertimbangkan resiko dampak psikologis yang dapat dialami oleh sang anak. Memang betul, bisa jadi anak akan merasa terpacu (dalam pengertian negatif) dan melakukan perbaikan atas dirinya. Namun dalam memperbaiki diri, pencapaian kesadaran mengapa ia dihukum justru merupakan alasan keduanya. Sedangkan alasan pertamanya adalah justru karena takut akan mendapatkan hukuman (tindak kekerasan) serupa. Padahal semestinya ia menyadari kesalahannya dan menjadi mampu melakukan sesuatu untuk mengurangi dampak dari kesalahannya tersebut.

Dari ragam resiko dampak psikologis (depresi, bipolar, anorexia, bulimia, schizophrenia, anxiety disorder, multi personality disorder dan lain-lain) yang dapat muncul, gejala menurunnya kesehatan fisik pun dapat dialami oleh korban. Di beberapa kasus depresi menahun, pada korban yang mengeluhkan “tidak dapat merasakan apa-apa”, cenderung melukai diri sendiri dengan benda tajam demi untuk merasakan “sakit yang sebenarnya”. Reaksi lain juga dapat dilihat dari pengguna obat-obatan terlarang dan pecandu alkohol pada usia muda. Dan ini hanya sebagian dari macam gangguan psikologis yang dapat dialami oleh seseorang yang mengalami trauma.
(Baca juga Sikap Guru Terhadap Bullying
bag 1 dan bag 2)

Hukuman Fisik, Masihkah Perlu?

Maksud yang ingin disampaikan oleh Haitam Nabil Abdul Hamid, seorang guru asal Mesir yang melakukan tindakan kekerasan yang mengakibatkan anak muridnya (korban) mengalami rusuk patah dan akhirnya menyebabkan gagal jantung (artikel Harian Republika tanggal 28 Desember), benar-benar tidak pernah tersampaikan dan diterima dengan baik oleh anak muridnya. Dan kembali kita dihenyakkan oleh kenyataan bahwa kekerasan tidak membuahkan apa-apa.

Sebuah kesalahan mutlak tidak dapat diperbaiki. Akan tetapi adilkah jika kesalahan tersebut turut menggadaikan harga diri, kesehatan mental terlebih lagi nyawa seorang anak?

“Kesempatan Kedua”

Ingatkah Anda pada buku Dare To Fail (Berani Gagal) yang sempat mendunia pada awal tahun 2000-an? Buku ini menekankan pada pentingnya peranan kegagalan dalam proses pendewasaan seseorang. Seperti ketika kita mengenal parai rasanya pahit jika kita merasainya, setelah berulang kali mengalami kegagalan, PS Lim, penulis buku tersebut, tidak menyerah kalah kepada kegagalannya. Justru hal tersebut yang memacu dirinya untuk lebih kritis dalam menghadapi tantangan hidupnya.

Kesadaran yang dicapai oleh Lim-lah yang membuatnya mampu untuk belajar dari kesalahan dan kembali bangkit untuk membuat perjalanan hidupnya menjadi lebih menarik dan juga menjadi individu yang kuat. Buku tersebut sarat akan contoh-contoh kesalahan yang dapat menyadarkan kita kembali (grounding) pada kenyataan bahwa kita adalah manusia (barely human) yang tidak luput dari kesalahan.

Semua orang memang perlu kesempatan kedua. Namun bisa jadi tidak hanya kesempatan kedua saja yang kita perlukan. Bisa saja kita akan memerlukan beberapa kali antukan batu agar kita betul-betul menangkap “pesan kegagalan” dalam proses pembelajaran kita. Dalam proses pembelajaran pulalah yang membuat kita mengerti keberadaan benar-salah, baik-buruk dan seterusnya. Bukan perasaan bersalah yang ingin diraih disini, namun bagaimana agar kejadian serupa tidak perlu terjadi lagi di kemudian hari.

Pemahaman yang demikianlah yang seyogyanya dapat disampaikan pada anak, di saat ia sedang mencari dan membangun karakter pribadinya. Lampiasan kekecewaan, kekesalan, dan amarah dalam bentuk kata-kata dengan suara keras, bentakan, julukan, sumpah serapah, terlebih lagi hukuman fisik akan mengaburkan (dan lebih sering menghilangkan) esensi “pesan kegagalan” yang semestinya dipahami oleh anak. Padahal, jika sebuah kesalahan disikapi dengan arif dan diuraikan dengan bijaksana, maka pemahaman tentang benar-salah, baik-buruk dan seterusnya, akan dapat diresapi dengan baik. Dan kemudian, berangkat dari pemahaman tersebut, anak akan secara tulus lebih berhati-hati dalam bertindak.

Ikhlas, Sabar, Damai

Terkadang karena letih, baik secara fisik maupun mental, orang dewasa cepat terpancing emosinya dan mudah sekali lepas kendali. Tetapi percayalah bahwa setiap individu memiliki keunikan masing-masing dan kesalahan adalah hal yang manusiawi. Dan emosi akan menghambat seseorang dalam mengajukan usulan-usulan solusi yang kondusif dan membangun bagi kedua belah pihak.

Sebagai orang tua atau guru, kita dapat menangkap keunikan-keunikan tersebut dan menganalisanya dengan seksama. Bersikap empatik dapat merupakan salah satu cara kala menangani anak yang melakukan kesalahan. Tanpa perlu melancarkan serangan mental maupun fisik, anak dapat mengerti akan kesalahan yang diperbuatnya. Penerapan “tough love” dalam keseharian pun dapat menjadi sarana dalam menciptakan keselarasan (harmoni) hubungan. Entah itu antar guru dan siswa atau orang tua dan anak. Tough love yang menjunjung tinggi integritas, dimana penerapannya didasari oleh penerapan nilai-nilai disiplin, respek, kesantunan, dan kepedulian dengan tambahan sentuhan cinta, akan menjadi perekat utama keselarasan.

Rasanya paduan ikhlas-sabar-damai adalah resep ampuh yang dapat dimaknai dalam keseharian. Ikhlas dalam menjalani peran dalam hidup. Sabar dalam mengayomi. Dan damai ketika menyikapi setiap keunikan.

Selamat bercinta! [SL]