Mari berbagi cinta.

Mungkin itulah frase yang tepat yang dapat mewakili keseluruhan tentang SEJIWA dalam tiga kata.

Sudah empat tahun ini SEJIWA berjuang melawan bullying bersama-sama dengan Diknas, para orang tua murid dan guru, adik-adik pelajar, dan para pemerhati pendidikan dari berbagai lini. Kini sudah ribuan hati tersentuh dan terobati. Mudah-mudahan akan lebih banyak lagi.

Selamat menggunakan blog ini dan menuai cinta dan harapan daripadanya.

Let’s share love today!

Tuesday, November 11, 2008

Sikap Guru Terhadap Bullying (Bagian 1)

Dalam dua tahun terakhir, kesadaran di masyarakat akan bullying semakin meningkat, seiring dengan perhatian media masa sehubungan dengan semakin maraknya kasus-kasus yang terjadi dimana beberapa diantaranya telah menelan korban, baik yang telah mengakhiri hidupnya, yang terluka, maupun yang mengalami depresi berkepanjangan. Kita masih ingat kejadian di akhir tahun lalu di SMA 34, dimana seorang anak telah dianiaya oleh sekelompok siswa yang memaksakan kehendak mereka kepada korban.

Dampak yang berupa depresi jarang kita dengar, namun SEJIWA telah mendata beberapa korban yang mengalami depresi berat sebagai dampak terjadinya bullying yang mereka alami. Bullying sendiri merupakan fenomena tua, namun riset-riset tentang bullying barulah muncul di sekitar awal tahun 1970-an di Scandinavia (Lihat Heinemann, 1972; D. Olweus, 1973a). Pada tahun 1982, di Norway terdapat 3 siswa dengan rentang usia 10 sampai 14 tahun yang bunuh diri dan penyebabnya adalah bullying yang dilakukan teman-teman mereka. Saat itu terjadilah reaksi keras di masyarakat yang akhirnya melibatkan kementerian Pendidikan untuk melakukan kampanye nasional antibullying pada musim gugur 1983.

Di negara-negara maju seperti USA, Canada, Inggris, Australia, Jepang dan Belanda, bullying mendapat perhatian serius pada era 1980-an, melalui riset-riset dan penulisan buku-buku ilmiah. Di Indonesia sendiri baru sekitar 2,5 sampai 3 tahun terakhir kita mendengar terminologi bullying ini, demikian pula riset-riset tentang bullying lebih banyak dilakukan secara di sekitar 3 tahun terakhir.

Ketika kita mendengar kata kekerasan, konotasinya lebih mengarah kepada sebuah perilaku negatif dimana korbannya tergambar telah terkapar atau berdarah-darah. Sebenarnya kekerasan tersebut dapat dihindari bila perilaku awal sebelum itu dapat dihindari, yaitu perilaku bullying. Dengan kata lain, bullying ini dapat dikatakan sebagai bibit menuju kekerasan.

Definisi bullying menurut pakar ilmu bullying Andrew Mellor dari Univ. of Edinburgh, lebih dilihat dari sudut pandang korban, yaitu: “Bullying terjadi bila seseorang merasa teraniaya oleh tindakan orang lain, dan ia merasa takut bila perilaku buruk tersebut akan terjadi lagi, dan merasa tak berdaya untuk mencegahnya”. Sedangkan Pepler and Craig menyatakan: “Bullying merupakan perilaku dimana terjadi ketidak seimbangan kekuatan diantara pembuli dan korbannya, sehingga dapat dikatakan bahwa Pembuli selalu lebih kuat daripada korbannya. Bullying dapat berupa fisik, verbal maupun psikologis.

Dengan berkembangnya zaman, bullying juga dapat terjadi di dunia maya maupun melalui telepon selular, dimana seseorang sengaja menekan orang lain melalui terror dan kata-kata makian. Amy Huneck, seorang pakar antibullying yang saat ini bekerja di JIS (Jakarta International School) telah mendata sekitar 60 jenis tindakan bullying yang terjadi di sekolah sehubungan dengan sistem antibullying yang diciptakannya untuk sekolah tersebut.

SEJIWA, yang dalam beberapa tahun terakhir ini secara kontinyu meningkatkan kesadaran masyarakat akan bullying yang terjadi di sekolah-sekolah, baik melalui pelatihan maupun workshop, menggolongkan reaksi para guru terhadap bullying yang dibuat berdasarkan pengalaman dari lapangan.
  1. Guru yang menganggap bullying tak perlu dipermasalahkan. Mereka menganggap anak didik perlu “didisiplinkan” dengan cara membuat mereka takut melalui sikap “dikerasi”, sehingga mereka akan “terpacu”.

  2. Guru yang melihat bullying layak ditanggulangi dengan baik di sekolah, karena mereka telah melihat dampak-dampak negatif yang telah terjadi terhadap anak-anak didik mereka.

  3. Guru yang tak berdaya dalam menanggulangi anak-anak yang saling membuli.

Tipe Guru ke 1:
Dengan meningkatnya kesadaran di masyarakat tentang bullying, termasuk di sekolah-sekolah, kenyataannya itu belum mengikis keyakinan cukup banyak guru, bahwa bullying adalah sebuah fenomena negatif yang perlu dicegah dan ditanggulangi. Beberapa di antara mereka berkeyakinan bahwa bullying hanyalah sebuah kewajaran dimana anak-anak pasti mengalaminya dalam proses belajar mereka dalam berinteraksi. Bagi guru dengan tipe ini, bahasan tentang bullying tak dianggap penting dan mengada-ada. Mereka tak mau menerima kenyataan bahwa cukup banyak anak didik yang prestasi akademisnya menurun dan bahkan tak ingin bersekolah lagi karena bullying yang pernah dialaminya. Bahkan, masih ada diantara guru yang masih melakukan bullying dengan cara menampar, menarik jambang, mencubit, membentak-bentak, memaki, maupun menyuruh siswa berkeliling lapangan, dengan alasan untuk mendisiplinkan anak didik ketika anak dianggap tidak patuh.

Guru-guru pada tipe ini mengutamakan ketegasan, tanpa mempedulikan kepentingan dan perasaan anak didik mereka. Bagi mereka, itulah jalan yang wajar untuk membuat anak didik berubah. Dalam sebuah workshop yang dilakukan SEJIWA, bahkan ada guru yang menyampaikan pernyataan sebagai berikut: “Si Polan sekarang jadi orang sukses, dan dia pernah datang ke saya mengucapkan terima kasih karena saya pernah menamparnya. Justru karena tamparan itu dia menjadi ulet dan tak mudah menyerah”. Bagaimana dengan para siswa yang terkena depresi setelah dibuli, mereka tentunya tak mungkin berterima kasih kepada guru seperti ini karena mereka justru amat tersiksa berkepanjangan, dan jumlahnya bisa jadi lebih banyak daripada yang menganggap bahwa kekerasan yang mereka dapatkan dari guru telah memotivasi mereka.

Sebagai contoh, dalam sebuah workshop SEJIWA, seorang ibu memberi kesaksian bahwa putranya terkena depresi ketika duduk di bangku SMA. Waktu itu seorang guru telah menegurnya dengan cukup keras karena sebuah kesalahan. Ia kemudian terjatuh, pingsan, dan setelah itu meracau. Setelah diperiksa oleh ahli jiwa, disimpulkan bahwa siswa tersebut telah membawa trauma masa kecil yang belum selesai dalam dirinya, dan ternyata trauma tersebut adalah tindakan kekerasan yang telah dilakukan oleh gurunya di SD. Sedemikian lama trauma tersebut dipendam, dan baru keluar setelah 8 tahun. Saat ini ia masih terus harus meminum anti depressant. Sekarang ia telah duduk di bangku kuliah, namun ia nampak kesepian dan menderita. Tampaknya reaksi bullying terhadap bullying dapat berdampak panjang kepada anak didik kita yang cenderung peka dan tak berdaya. Hal ini yang perlu menjadi catatan kita semua.

Tipe Guru ke 2:
Bagi guru yang menyadari dampak-dampak negatif dari bullying yang telah terjadi terhadap anak-anak didik mereka, misalnya: turunnya motivasi belajar, meningkatnya absensi ke sekolah, mengasingkan diri, sering sakit-sakitan, takut, dan tertekan, mereka amat menghargai bahasan tentang bullying yang telah menambah wawasan mereka. Mereka amat menghargai tip-tip dan ide-ide yang dapat membantu mereka menciptakan sekolah yang damai dan penuh kreativitas. Dari guru jenis ini, SEJIWA berhasil mendapatkan dukungan untuk bersama-sama ciptakan sistem antibullying di sekolah-sekolah yang berfokus kepada peningkatan kemampuan sosial dan emosional anak didik agar mereka mampu hidup berdampingan, walau dengan perbedaan-perbedaan yang ada. Guru jenis ini amat membantu terjadinya proses perubahan di sebuah sekolah.

Dengan wawasan barunya, para guru ini mengubah cara-cara pendekatan terhadap siswa, sehingga semakin empatik dan lebih memberikan waktu kepada para siswa untuk menyampaikan keluh kesah mereka. Sikap ini tentunya amat berdampak positif untuk menanggulangi maraknya bullying, karena anak dapat menyampaikan apa yang terjadi sehingga bila anak mengalami sebuah kejadian buruk, dampak negatif lebih lanjut dapat diantisipasi dan tak perlu terjadi.

Guru-guru tipe ini memperlakukan siswa/i-nya dengan kepedulian, kasih sayang dan toleransi, sehingga siswa/i-nya amat menghormati mereka. Dari guru-guru seperti inilah siswa/i belajar tentang nilai-nilai keluhuran (bagaimana perasaan disayangi, dipedulikan, dicintai), dan bagaimana diperlakukan dengan hormat dan dianggap berharga. Para guru pada tipe ini, bila dirasa perlu memberikan teguran-teguran dalam mendisiplinkan anak didik mereka, mereka dapat menggunakan cara-cara yang tepat sehingga masuk dan diterima anak didik mereka. Guru guru pada tipe ini memiliki ketegasan, namun juga kepedulian terhadap perasaan-perasaan dan kepentingan anak didik. Mereka mampu menggugah anak didik mereka untuk kembali pada nilai-nilai yang diperlukan dalam kesantunan berinteraksi satu sama lain, bila anak anak melakukan sebuah pelanggaran. Rasa damai yang dirasakan anak-anak di sekolah-sekolah amat banyak tergantung dari peranan para guru pada tipe ini.

Tipe Guru ke 3:
Guru guru yang masuk pada kategori ini umumnya adalah guru-guru muda yang masih belum cukup berpengalaman menghadapi medan yang semakin terjal. Mereka belum cukup tegas dalam menghadapi anak anak didik yang membangkang, dan melanggar peraturan sekolah. Rasa tak berdaya ini dapat segera dirasakan anak didiknya, sehingga terjadi semacam pelecehan dari anak didik, yang tak segera mengindahkan peringatan yang dilakukan dengan cara-cara yang kurang tepat (kurang ketegasan, terlalu banyak kepedulian). Guru pada tipe ini akan mengakibatkan kurang tegaknya disiplin di sekolah, dan semakin maraknya bullying yang dilakukan pembuli.

Pada bagian kedua akan menjelaskan kiat-kiat dalam menangani bullying yang dapat diterapkan di sekolah maupun di rumah.


Tulisan ini dibuat oleh :
Diena Haryana
Ketua SEJIWA (Yayasan Semai Jiwa Amini)

No comments:

Post a Comment