Mungkin ada yang bilang ‘ya’. Dan ada juga yang bilang ‘tidak’. Dan mungkin sebagian lainnya akan mengatakan ‘saya tidak ada hubungannya (jadi mengapa saya harus peduli?)’.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh University of Pennsylvania sekitar 2 dekade lalu menunjukkan bahwa orang tua yang melakukan tindakan bullying terhadap anaknya cenderung membesarkan anak-anak yang membuli. Dan kini pun masih sama. Terkadang seorang anak melampiaskan kekesalannya dan mulai membuli sekitarnya. Hal ini dapat terjadi karena anak tersebut sedang dibuli dan tidak tahan lagi dengan keadaan terbuli tersebut. Dan sayangnya, ketika hal ini terjadi, anak tersebut sudah dijuluki “pembuli”. Padahal anak tersebut juga menjadi korban. Para orang tua biasanya dengan mudahnya memberikan label pada anak-anak. Tapi sebaiknya, sebelum memberi label, ketahuilah lebih dalam akan apa yang terjadi.
Mengingat dampak buruk yang diakibatkan oleh bullying, kebanyakan korban atau orang tua korban berpendapat bahwa menghukum pembuli adalah tindakan yang paling baik dan teradil untuk membuat pembuli jera dan ‘ogah’ membuli lagi. Namun di lain pihak, bagaimana dengan pembuli? Tidakkah mereka layak untuk mendapatkan kesempatan kedua dan memulai kembali kehidupan mereka?[SL]
- Cahaya Sejiwa
- Mari berbagi cinta.
Mungkin itulah frase yang tepat yang dapat mewakili keseluruhan tentang SEJIWA dalam tiga kata.
Sudah empat tahun ini SEJIWA berjuang melawan bullying bersama-sama dengan Diknas, para orang tua murid dan guru, adik-adik pelajar, dan para pemerhati pendidikan dari berbagai lini. Kini sudah ribuan hati tersentuh dan terobati. Mudah-mudahan akan lebih banyak lagi.
Selamat menggunakan blog ini dan menuai cinta dan harapan daripadanya.
Let’s share love today!
Sunday, March 15, 2009
Tuesday, December 30, 2008
Makna dalam Duka
Respon artikel Republika, “Hukuman Fisik, Masihkah Perlu”, 28 Desember
Bukan Hal Baru
Bukan kejutan sebenarnya ketika membaca artikel di Republika, 28 Desember kemarin (baca Republika On Line http://republika.co.id/berita/22340.html). Dan hal ini pun terjadi di Indonesia dengan pola dan motif yang berbeda-beda. Tidak hanya oleh guru terhadap murid, namun juga orang tua kepada anak.
Pada umumnya orang dewasa yang melakukan tindak kekerasan pada anak berdalih ingin membuat jera si anak hingga kurang mempertimbangkan resiko dampak psikologis yang dapat dialami oleh sang anak. Memang betul, bisa jadi anak akan merasa terpacu (dalam pengertian negatif) dan melakukan perbaikan atas dirinya. Namun dalam memperbaiki diri, pencapaian kesadaran mengapa ia dihukum justru merupakan alasan keduanya. Sedangkan alasan pertamanya adalah justru karena takut akan mendapatkan hukuman (tindak kekerasan) serupa. Padahal semestinya ia menyadari kesalahannya dan menjadi mampu melakukan sesuatu untuk mengurangi dampak dari kesalahannya tersebut.
Dari ragam resiko dampak psikologis (depresi, bipolar, anorexia, bulimia, schizophrenia, anxiety disorder, multi personality disorder dan lain-lain) yang dapat muncul, gejala menurunnya kesehatan fisik pun dapat dialami oleh korban. Di beberapa kasus depresi menahun, pada korban yang mengeluhkan “tidak dapat merasakan apa-apa”, cenderung melukai diri sendiri dengan benda tajam demi untuk merasakan “sakit yang sebenarnya”. Reaksi lain juga dapat dilihat dari pengguna obat-obatan terlarang dan pecandu alkohol pada usia muda. Dan ini hanya sebagian dari macam gangguan psikologis yang dapat dialami oleh seseorang yang mengalami trauma.
(Baca juga Sikap Guru Terhadap Bullying bag 1 dan bag 2)
Hukuman Fisik, Masihkah Perlu?
Maksud yang ingin disampaikan oleh Haitam Nabil Abdul Hamid, seorang guru asal Mesir yang melakukan tindakan kekerasan yang mengakibatkan anak muridnya (korban) mengalami rusuk patah dan akhirnya menyebabkan gagal jantung (artikel Harian Republika tanggal 28 Desember), benar-benar tidak pernah tersampaikan dan diterima dengan baik oleh anak muridnya. Dan kembali kita dihenyakkan oleh kenyataan bahwa kekerasan tidak membuahkan apa-apa.
Sebuah kesalahan mutlak tidak dapat diperbaiki. Akan tetapi adilkah jika kesalahan tersebut turut menggadaikan harga diri, kesehatan mental terlebih lagi nyawa seorang anak?
“Kesempatan Kedua”
Ingatkah Anda pada buku Dare To Fail (Berani Gagal) yang sempat mendunia pada awal tahun 2000-an? Buku ini menekankan pada pentingnya peranan kegagalan dalam proses pendewasaan seseorang. Seperti ketika kita mengenal parai rasanya pahit jika kita merasainya, setelah berulang kali mengalami kegagalan, PS Lim, penulis buku tersebut, tidak menyerah kalah kepada kegagalannya. Justru hal tersebut yang memacu dirinya untuk lebih kritis dalam menghadapi tantangan hidupnya.
Kesadaran yang dicapai oleh Lim-lah yang membuatnya mampu untuk belajar dari kesalahan dan kembali bangkit untuk membuat perjalanan hidupnya menjadi lebih menarik dan juga menjadi individu yang kuat. Buku tersebut sarat akan contoh-contoh kesalahan yang dapat menyadarkan kita kembali (grounding) pada kenyataan bahwa kita adalah manusia (barely human) yang tidak luput dari kesalahan.
Semua orang memang perlu kesempatan kedua. Namun bisa jadi tidak hanya kesempatan kedua saja yang kita perlukan. Bisa saja kita akan memerlukan beberapa kali antukan batu agar kita betul-betul menangkap “pesan kegagalan” dalam proses pembelajaran kita. Dalam proses pembelajaran pulalah yang membuat kita mengerti keberadaan benar-salah, baik-buruk dan seterusnya. Bukan perasaan bersalah yang ingin diraih disini, namun bagaimana agar kejadian serupa tidak perlu terjadi lagi di kemudian hari.
Pemahaman yang demikianlah yang seyogyanya dapat disampaikan pada anak, di saat ia sedang mencari dan membangun karakter pribadinya. Lampiasan kekecewaan, kekesalan, dan amarah dalam bentuk kata-kata dengan suara keras, bentakan, julukan, sumpah serapah, terlebih lagi hukuman fisik akan mengaburkan (dan lebih sering menghilangkan) esensi “pesan kegagalan” yang semestinya dipahami oleh anak. Padahal, jika sebuah kesalahan disikapi dengan arif dan diuraikan dengan bijaksana, maka pemahaman tentang benar-salah, baik-buruk dan seterusnya, akan dapat diresapi dengan baik. Dan kemudian, berangkat dari pemahaman tersebut, anak akan secara tulus lebih berhati-hati dalam bertindak.
Ikhlas, Sabar, Damai
Terkadang karena letih, baik secara fisik maupun mental, orang dewasa cepat terpancing emosinya dan mudah sekali lepas kendali. Tetapi percayalah bahwa setiap individu memiliki keunikan masing-masing dan kesalahan adalah hal yang manusiawi. Dan emosi akan menghambat seseorang dalam mengajukan usulan-usulan solusi yang kondusif dan membangun bagi kedua belah pihak.
Sebagai orang tua atau guru, kita dapat menangkap keunikan-keunikan tersebut dan menganalisanya dengan seksama. Bersikap empatik dapat merupakan salah satu cara kala menangani anak yang melakukan kesalahan. Tanpa perlu melancarkan serangan mental maupun fisik, anak dapat mengerti akan kesalahan yang diperbuatnya. Penerapan “tough love” dalam keseharian pun dapat menjadi sarana dalam menciptakan keselarasan (harmoni) hubungan. Entah itu antar guru dan siswa atau orang tua dan anak. Tough love yang menjunjung tinggi integritas, dimana penerapannya didasari oleh penerapan nilai-nilai disiplin, respek, kesantunan, dan kepedulian dengan tambahan sentuhan cinta, akan menjadi perekat utama keselarasan.
Rasanya paduan ikhlas-sabar-damai adalah resep ampuh yang dapat dimaknai dalam keseharian. Ikhlas dalam menjalani peran dalam hidup. Sabar dalam mengayomi. Dan damai ketika menyikapi setiap keunikan.
Selamat bercinta! [SL]
Bukan Hal Baru
Bukan kejutan sebenarnya ketika membaca artikel di Republika, 28 Desember kemarin (baca Republika On Line http://republika.co.id/berita/22340.html). Dan hal ini pun terjadi di Indonesia dengan pola dan motif yang berbeda-beda. Tidak hanya oleh guru terhadap murid, namun juga orang tua kepada anak.
Pada umumnya orang dewasa yang melakukan tindak kekerasan pada anak berdalih ingin membuat jera si anak hingga kurang mempertimbangkan resiko dampak psikologis yang dapat dialami oleh sang anak. Memang betul, bisa jadi anak akan merasa terpacu (dalam pengertian negatif) dan melakukan perbaikan atas dirinya. Namun dalam memperbaiki diri, pencapaian kesadaran mengapa ia dihukum justru merupakan alasan keduanya. Sedangkan alasan pertamanya adalah justru karena takut akan mendapatkan hukuman (tindak kekerasan) serupa. Padahal semestinya ia menyadari kesalahannya dan menjadi mampu melakukan sesuatu untuk mengurangi dampak dari kesalahannya tersebut.
Dari ragam resiko dampak psikologis (depresi, bipolar, anorexia, bulimia, schizophrenia, anxiety disorder, multi personality disorder dan lain-lain) yang dapat muncul, gejala menurunnya kesehatan fisik pun dapat dialami oleh korban. Di beberapa kasus depresi menahun, pada korban yang mengeluhkan “tidak dapat merasakan apa-apa”, cenderung melukai diri sendiri dengan benda tajam demi untuk merasakan “sakit yang sebenarnya”. Reaksi lain juga dapat dilihat dari pengguna obat-obatan terlarang dan pecandu alkohol pada usia muda. Dan ini hanya sebagian dari macam gangguan psikologis yang dapat dialami oleh seseorang yang mengalami trauma.
(Baca juga Sikap Guru Terhadap Bullying bag 1 dan bag 2)
Hukuman Fisik, Masihkah Perlu?
Maksud yang ingin disampaikan oleh Haitam Nabil Abdul Hamid, seorang guru asal Mesir yang melakukan tindakan kekerasan yang mengakibatkan anak muridnya (korban) mengalami rusuk patah dan akhirnya menyebabkan gagal jantung (artikel Harian Republika tanggal 28 Desember), benar-benar tidak pernah tersampaikan dan diterima dengan baik oleh anak muridnya. Dan kembali kita dihenyakkan oleh kenyataan bahwa kekerasan tidak membuahkan apa-apa.
Sebuah kesalahan mutlak tidak dapat diperbaiki. Akan tetapi adilkah jika kesalahan tersebut turut menggadaikan harga diri, kesehatan mental terlebih lagi nyawa seorang anak?
“Kesempatan Kedua”
Ingatkah Anda pada buku Dare To Fail (Berani Gagal) yang sempat mendunia pada awal tahun 2000-an? Buku ini menekankan pada pentingnya peranan kegagalan dalam proses pendewasaan seseorang. Seperti ketika kita mengenal parai rasanya pahit jika kita merasainya, setelah berulang kali mengalami kegagalan, PS Lim, penulis buku tersebut, tidak menyerah kalah kepada kegagalannya. Justru hal tersebut yang memacu dirinya untuk lebih kritis dalam menghadapi tantangan hidupnya.
Kesadaran yang dicapai oleh Lim-lah yang membuatnya mampu untuk belajar dari kesalahan dan kembali bangkit untuk membuat perjalanan hidupnya menjadi lebih menarik dan juga menjadi individu yang kuat. Buku tersebut sarat akan contoh-contoh kesalahan yang dapat menyadarkan kita kembali (grounding) pada kenyataan bahwa kita adalah manusia (barely human) yang tidak luput dari kesalahan.
Semua orang memang perlu kesempatan kedua. Namun bisa jadi tidak hanya kesempatan kedua saja yang kita perlukan. Bisa saja kita akan memerlukan beberapa kali antukan batu agar kita betul-betul menangkap “pesan kegagalan” dalam proses pembelajaran kita. Dalam proses pembelajaran pulalah yang membuat kita mengerti keberadaan benar-salah, baik-buruk dan seterusnya. Bukan perasaan bersalah yang ingin diraih disini, namun bagaimana agar kejadian serupa tidak perlu terjadi lagi di kemudian hari.
Pemahaman yang demikianlah yang seyogyanya dapat disampaikan pada anak, di saat ia sedang mencari dan membangun karakter pribadinya. Lampiasan kekecewaan, kekesalan, dan amarah dalam bentuk kata-kata dengan suara keras, bentakan, julukan, sumpah serapah, terlebih lagi hukuman fisik akan mengaburkan (dan lebih sering menghilangkan) esensi “pesan kegagalan” yang semestinya dipahami oleh anak. Padahal, jika sebuah kesalahan disikapi dengan arif dan diuraikan dengan bijaksana, maka pemahaman tentang benar-salah, baik-buruk dan seterusnya, akan dapat diresapi dengan baik. Dan kemudian, berangkat dari pemahaman tersebut, anak akan secara tulus lebih berhati-hati dalam bertindak.
Ikhlas, Sabar, Damai
Terkadang karena letih, baik secara fisik maupun mental, orang dewasa cepat terpancing emosinya dan mudah sekali lepas kendali. Tetapi percayalah bahwa setiap individu memiliki keunikan masing-masing dan kesalahan adalah hal yang manusiawi. Dan emosi akan menghambat seseorang dalam mengajukan usulan-usulan solusi yang kondusif dan membangun bagi kedua belah pihak.
Sebagai orang tua atau guru, kita dapat menangkap keunikan-keunikan tersebut dan menganalisanya dengan seksama. Bersikap empatik dapat merupakan salah satu cara kala menangani anak yang melakukan kesalahan. Tanpa perlu melancarkan serangan mental maupun fisik, anak dapat mengerti akan kesalahan yang diperbuatnya. Penerapan “tough love” dalam keseharian pun dapat menjadi sarana dalam menciptakan keselarasan (harmoni) hubungan. Entah itu antar guru dan siswa atau orang tua dan anak. Tough love yang menjunjung tinggi integritas, dimana penerapannya didasari oleh penerapan nilai-nilai disiplin, respek, kesantunan, dan kepedulian dengan tambahan sentuhan cinta, akan menjadi perekat utama keselarasan.
Rasanya paduan ikhlas-sabar-damai adalah resep ampuh yang dapat dimaknai dalam keseharian. Ikhlas dalam menjalani peran dalam hidup. Sabar dalam mengayomi. Dan damai ketika menyikapi setiap keunikan.
Selamat bercinta! [SL]
Tuesday, November 18, 2008
Kala Anak Angkat Bicara
Berangkat dari kesadaran bahwa bullying itu nggak cool, para duta-duta anti bullying diajak untuk mendiskusikan mengapa bullying adalah hal yang serius dan patut untuk mendapat perhatian media massa. Menurut arahan yang diberikan oleh Debra Yatim dalam sebuah sesi bertajuk Penggunaan Media Massa untuk Suarakan Kepedulian Kita Akan Kekerasan Di Sekolah, pada workshop tiga hari Young Hearts yang diadakan oleh Plan Indonesia dan SEJIWA, kriteria dasar jurnalisme yang berkaitan dengan aksioma mengenai kebesaran, kedekatan, dampak luas, kebaruan dan keunikan berita haruslah terpenuhi terlebih dahulu.
Bullying adalah tindakan yang umum dan berdampak pada banyak orang, dan negatif karena bisa berakibat sangat parah dan dapat terjadi pada keluarga kita.
Kemudian sepuluh juru bicara mengungkapkan pendapat mereka. “Bullying itu ada di sekitar kita, korbannya makin banyak. Perilakunya direplikasi di kian banyak tempat seolah pengulangan, tetapi sekolahnya semakin banyak jumlahnya, dan hampir 100% sekolah di Indonesia mengalami bentuk bullying selama tahun ajaran berlangsung,” kata mereka, sepuluh siswa dari SMA Dian Didaktika, SMAN 68, SMAN 82, SMA 103, dan SMP Al Izhar.
Ada perkembangan teknik, ujar salah seorang siswa ketika ia mengungkapkan mengapa bullying itu unik, kalo dulu cowok, sekarang cewek juga bisa jadi bully. Dan gak ada kesadaran dari si pelaku akan dampak yang timbul akibat tindakan bullying yang dilakukan. Kita harus berhati-hati karena bullying mungkin saja terjadi pada keluarga kita.
Kesenjangan antara media massa dan anak-anak terutama yang berhubungan dengan isu kekerasan anak masih lebar. Anak-anak seperti tidak punya akses bebas untuk bisa melepaskan suara mereka. Pada pelatihan yang sama, dengan bantuan teman-teman dari dagdigdug.com, para peserta diberikan pelatihan untuk membuat blog sehingga mereka bisa dengan mudah menuangkan apa yang ada di hati mereka melalui media blog. Seperti yang sedang kita baca ini ya?
”Kalau ada bullying, generasi penerus akan menjadi bangsa yang tidak benar,” kata mereka. ”Nanti bangsa ini gemarnya kekerasan semata. Sebaiknya media menyorot itu, biar terjadi perubahan. Dan bullying lenyap.”
Temen-temen media, yuk, bareng-bareng perang lawan bullying bersama dengan adik-adik ini :) [SL]
Bullying adalah tindakan yang umum dan berdampak pada banyak orang, dan negatif karena bisa berakibat sangat parah dan dapat terjadi pada keluarga kita.
Kemudian sepuluh juru bicara mengungkapkan pendapat mereka. “Bullying itu ada di sekitar kita, korbannya makin banyak. Perilakunya direplikasi di kian banyak tempat seolah pengulangan, tetapi sekolahnya semakin banyak jumlahnya, dan hampir 100% sekolah di Indonesia mengalami bentuk bullying selama tahun ajaran berlangsung,” kata mereka, sepuluh siswa dari SMA Dian Didaktika, SMAN 68, SMAN 82, SMA 103, dan SMP Al Izhar.
Ada perkembangan teknik, ujar salah seorang siswa ketika ia mengungkapkan mengapa bullying itu unik, kalo dulu cowok, sekarang cewek juga bisa jadi bully. Dan gak ada kesadaran dari si pelaku akan dampak yang timbul akibat tindakan bullying yang dilakukan. Kita harus berhati-hati karena bullying mungkin saja terjadi pada keluarga kita.
Kesenjangan antara media massa dan anak-anak terutama yang berhubungan dengan isu kekerasan anak masih lebar. Anak-anak seperti tidak punya akses bebas untuk bisa melepaskan suara mereka. Pada pelatihan yang sama, dengan bantuan teman-teman dari dagdigdug.com, para peserta diberikan pelatihan untuk membuat blog sehingga mereka bisa dengan mudah menuangkan apa yang ada di hati mereka melalui media blog. Seperti yang sedang kita baca ini ya?
”Kalau ada bullying, generasi penerus akan menjadi bangsa yang tidak benar,” kata mereka. ”Nanti bangsa ini gemarnya kekerasan semata. Sebaiknya media menyorot itu, biar terjadi perubahan. Dan bullying lenyap.”
Temen-temen media, yuk, bareng-bareng perang lawan bullying bersama dengan adik-adik ini :) [SL]
Labels:
bullying,
kekerasan anak,
kesehatan anak,
psikologi,
psikologi anak,
sejiwa,
seni,
young hearts
Friday, November 14, 2008
Ayam, Entog dan Bebek
Trilogi barukah ketiganya? Jawabannya adalah bukan.
Lalu apakah hubungan ketiganya? Jika merujuk dalam ilmu biologi, ketiganya sama sama unggas. Tapi kemarin, mereka tidak berperan sebagai unggas betulan melainkan sebagai ice breaker pada pra pembukaan Young Hearts Jakarta: Sekolahku Menyenangkan, sebuah proyek kompetsi musik dan seni bertemakan anti kekerasan yang digelar di Wisma Makara, Universitas Indonesia.
Walau agak panas di pagi hari, hal tersebut tidak menyurutkan semangat para peserta serta pendamping dalam menyimak sesi demi sesi workshop regional Young Hearts yang akan digelar selama tiga hari ini.
Setelah sukses menggelar acara serupa di Surabaya dan Jogja, Jakarta tak mau ketinggalan. Sekitar 150 duta-duta anti bullying yang telah lolos seleksi saringan awal kompetisi Young Hearts akan digembleng selama 3 hari berturut-turut untuk lebih mengasah keterampilan mereka dalam berseni. Tentu saja dengan muatan anti bullying di dalamnya.
Dalam sesi pertama yang diasuh oleh Ratna Juwita, Dosen Fakultas Ilmu Psikologi Universitas Indonesia, duta-duta anti bullying tersebut diajak berembuk dan berbagi harapan dan kiat untuk menciptakan sekolah yang menyenangkan nan bebas dari bullying. Suara-suara mereka diperdengarkan dengan lantang pada sesi ini. Sebagian besar peserta sepakat untuk menghilangkan senioritas. “Iya, kita kan semua sama,” ujar salah satu peserta yang diminta untuk mempresentasikan suara kelompoknya. Dan hal ini diamini oleh banyak peserta lainnya. Kalau ini suara mayoritas dari sampel terbatas, mungkinkah pada dasarnya hal ini yang sebenarnya juga menjadi suara mayoritas siswa pada umumnya? Mari kita temukan jawabannya pada diri kita masing-masing.
Suara mayoritas kedua lainnya adalah dibuatnya acara-acara yang dapat menyalurkan bakat para siswa agar mereka lebih tersalurkan energinya untuk hal-hal positif. Kemudian ada lagi yang mengusulkan agar diberikan kamera cctv di tempat-tempat tongkrongan untuk mendukung tugas guru piket. Usulan-usulan lainnya juga bagus-bagus, seperti: mengajak berbagi pihak (siswa, pengurus sekolah dan orang tua) untuk bekerja sama dalam memberantas bullying dibantu dengan kelompok pemberantas bullying yang terdiri dari siswa-siswa, menghentikan hukuman fisik, tidak perlu balas dendam, memperbaiki pola komunitas antar sesama siswa dan juga masukan bagi para guru agar dapat memberikan contoh yang baik serta lebih berbesar hati dalam menerima masukan dari siswa.. Menurut siswa-siswa itu, penting untuk diingat agar kita senantiasa saling respek, empatik, saling sayang, dan berdamai dengan semuanya, dan seluruh hal-hal tersebut sebaiknya dimulai dari diri sendiri agar kemudian dapat terpancar dan juga menggugah sekitar untuk memberikan respon yang sama.
Sungguh usulan-usulan yang harus diacungi jempol! Jadi, seperti seruan MC, YOUNG HEARTS!!! STOP BULLYING!!! [SL]
Lalu apakah hubungan ketiganya? Jika merujuk dalam ilmu biologi, ketiganya sama sama unggas. Tapi kemarin, mereka tidak berperan sebagai unggas betulan melainkan sebagai ice breaker pada pra pembukaan Young Hearts Jakarta: Sekolahku Menyenangkan, sebuah proyek kompetsi musik dan seni bertemakan anti kekerasan yang digelar di Wisma Makara, Universitas Indonesia.
Walau agak panas di pagi hari, hal tersebut tidak menyurutkan semangat para peserta serta pendamping dalam menyimak sesi demi sesi workshop regional Young Hearts yang akan digelar selama tiga hari ini.
Setelah sukses menggelar acara serupa di Surabaya dan Jogja, Jakarta tak mau ketinggalan. Sekitar 150 duta-duta anti bullying yang telah lolos seleksi saringan awal kompetisi Young Hearts akan digembleng selama 3 hari berturut-turut untuk lebih mengasah keterampilan mereka dalam berseni. Tentu saja dengan muatan anti bullying di dalamnya.
Dalam sesi pertama yang diasuh oleh Ratna Juwita, Dosen Fakultas Ilmu Psikologi Universitas Indonesia, duta-duta anti bullying tersebut diajak berembuk dan berbagi harapan dan kiat untuk menciptakan sekolah yang menyenangkan nan bebas dari bullying. Suara-suara mereka diperdengarkan dengan lantang pada sesi ini. Sebagian besar peserta sepakat untuk menghilangkan senioritas. “Iya, kita kan semua sama,” ujar salah satu peserta yang diminta untuk mempresentasikan suara kelompoknya. Dan hal ini diamini oleh banyak peserta lainnya. Kalau ini suara mayoritas dari sampel terbatas, mungkinkah pada dasarnya hal ini yang sebenarnya juga menjadi suara mayoritas siswa pada umumnya? Mari kita temukan jawabannya pada diri kita masing-masing.
Suara mayoritas kedua lainnya adalah dibuatnya acara-acara yang dapat menyalurkan bakat para siswa agar mereka lebih tersalurkan energinya untuk hal-hal positif. Kemudian ada lagi yang mengusulkan agar diberikan kamera cctv di tempat-tempat tongkrongan untuk mendukung tugas guru piket. Usulan-usulan lainnya juga bagus-bagus, seperti: mengajak berbagi pihak (siswa, pengurus sekolah dan orang tua) untuk bekerja sama dalam memberantas bullying dibantu dengan kelompok pemberantas bullying yang terdiri dari siswa-siswa, menghentikan hukuman fisik, tidak perlu balas dendam, memperbaiki pola komunitas antar sesama siswa dan juga masukan bagi para guru agar dapat memberikan contoh yang baik serta lebih berbesar hati dalam menerima masukan dari siswa.. Menurut siswa-siswa itu, penting untuk diingat agar kita senantiasa saling respek, empatik, saling sayang, dan berdamai dengan semuanya, dan seluruh hal-hal tersebut sebaiknya dimulai dari diri sendiri agar kemudian dapat terpancar dan juga menggugah sekitar untuk memberikan respon yang sama.
Sungguh usulan-usulan yang harus diacungi jempol! Jadi, seperti seruan MC, YOUNG HEARTS!!! STOP BULLYING!!! [SL]
Labels:
anak,
bullying,
kekerasan anak,
psikologi,
psikologi anak,
sejiwa,
seni,
young hearts
Tuesday, November 11, 2008
Sikap Guru Terhadap Bullying (Bagian 2)
Ada hambatan yang dirasakan para guru sehubungan dengan kondisi anak-anak didik mereka saat ini, yaitu sulitnya mengelola mereka . Siswa/i yang mereka tangani sekarang memiliki karakter yang berbeda dari mereka ketika seusia anak didik mereka dulu.
Anak-anak sekarang lebih kritis, lebih terbuka, tidak mudah menerima masukan-masukan kecuali dengan cara yang mereka dapat terima. Dahulu, peranan guru dalam mendidik kita amatlah dominan, karena guru amatlah dihargai. Kini, anak-anak didik kita lebih ekspresif, dan cenderung hanya akan menghormati orang bila orang tersebut menunjukkan perilaku yang dapat mereka terima, termasuk guru-guru mereka.
Anak anak kita cukup banyak terekspos oleh tampilan-tampilan kekerasan di TV, kejadian-kejadian di rumah maupun di masyarakat yang mengutamakan kepentingan-kepentingan ego semata. Bahkan beberapa diantara mereka kehidupannya terekspos oleh koneksi dengan dunia luar melalui internet. Dari situ mereka belajar ekspresi ekspresi kasar maupun perilaku-perilaku yang tak sopan, dan nilai-nilai lain dari yang kita tanamkan di rumah. Bila orangtua tidak cukup akrab dengan putra-putri mereka, maka pengaruh-pengaruh luar ini akan membuat anak anak kita lebih sulit untuk dikontrol, yang memacu bullying untuk terjadi diantara mereka.
Tujuan kita mendidik anak di sekolah adalah untuk mengajak mereka mencapai aktualisasi diri mereka. Kita menginginkan mereka maju secara akademis, tetapi juga tumbuh subur keluhurannya (santun, peduli, bertanggung jawab, dan menghormati sesama).
Dengan kondisi lapangan yang tidak mudah seperti tergambar di atas, pertanyaan bagi kita, para pendidik adalah: “Bagaimanakah kita dapat menciptakan atmosfir di sekolah yang dapat menumbuhkan sekaligus mendisiplinkan anak didik?”; “Bagaimanakah kita dapat “mengontrol” anak anak kita, namun tetap dalam atmosfir yang membuat mereka terpacu belajar, dan mengembangkan rasa percaya diri serta kesantunan yang tinggi sebagai pembekalan agar mereka mampu berkiprah kelak di masyarakat secara efektif.
Terhadap pertanyaan di atas, beberapa guru menerjemahkannya melalui pendekatan yang salah. Mereka memukul maupun membentak anak-anak agar patuh. Mereka justru melakukan tindakan bullying kepada anak didik mereka. Jalan seperti ini justru menciptakan rasa takut yang menekan pada sebagian anak, maupun pemberontakan pada sebagian anak yang lain. Keduanya tak akan menimbulkan kepatuhan terhadap peraturuan-peraturan seperti yang kita harapkan.
Reaksi seorang anak ketika ia diminta menggambar sesuai apa yang ada pada benaknya (penelitian Plan Indonesia, 2006, di NTB), ia menggambar seorang tentara. Saat diskusi ia mengungkapkan alasannya bahwa dia ingin membalas memukul gurunya yang sering mengerasinya kalau ia jadi tentara. Dengan demikian, telah tergambar pada kita, betapa dalam memori negatif pada alam bawah sadarnya karena perilaku guru tersebut, sehingga ia menyimpan dendam seperti itu. Bila kekerasan bukanlah jawaban untuk mendisiplinkan anak didik kita, adakah jalan keluarnya?
Penulis ingin mengajukan usulan penerapan “tough love” di sekolah. “Tough love” didasari oleh penerapan nilai-nilai disiplin, respek, kesantunan dan kepedulian, baik dari guru terhadap anak dan sebaliknya. Pendekatan ini mengajak anak didik untuk menunjukkan standard prestasi yang tinggi, tetapi untuk mencapai hal ini guru juga menciptakan dukungan agar hal tersebut dapat dicapai. Pendekatan ini menuntut seorang guru untuk menjadi suri tauladan, yang mampu membangun dialog dan hubungan positif dengan anak didik, sembari mengatasi masalah-masalah disiplin secara langsung dengan cara yang adil dan menghargai. “Tough love” berbeda dengan sekedar menjadi “tough” (tegas).
“Tough love” melibatkan pendisiplinan yang positif dan mengembangkan anak didik, dimana mereka sadar akan kesalahan mereka, melalui proses dialog yang menyentuh mereka. Kesalahan-kesalahan mereka dikoreksi dengan cara yang tidak melecehkan mereka. Penalti yang dilakukan bisa cukup tegas bila pelanggaran cukup serius, misalnya dengan cara tak boleh mengikuti pelajaran untuk beberapa saat, dipanggil orang tuanya, atau tindakan tindakan lain yang lebih tegas. Yang terpenting adalah semua penalti tersebut dilakukan dengan tetap menerapkan nilai-nilai respek dan kesantunan.
Bila hal ini dilakukan secara konsisten oleh para guru, anak-anak didik kita akan dapat melihat bahwa guru-guru mereka sebenarnya peduli terhadap mereka, sekaligus ingin agar mereka sukses dan berkembang. Mereka akan dapat menerima ketegasan karena mereka dapat merasakan cinta pula dibalik itu. Mereka tidak akan melihat bahwa teguran yang dilakukan seperti itu akan melecehkan atau diluar proporsi yang seharusnya. Mereka akan merespek dan menyukai guru seperti ini, sehingga mereka akan dengan rela merubah perilaku negatifnya menjadi positif dan mudah diajak bekerjasama.
Hal ini akan memudahkan guru untuk mengontrol mereka hanya dengan kata-kata yang sederhana, namun akan didengar dan dituruti anak didik yang telah mempercayai dan merespek dirinya. Kombinasi antara “Love” dan “Toughness” (ketegasan) ini akan jauh lebih kuat dampak positifnya daripada sekedar menerapkan “toughness” saja. “Tough love” akan membentuk guru-guru yang selalu memandang perlu untuk menyentuh hati dan kalbu anak melalui sikap dan perilakunya yang penuh kebijaksanaan.
Mereka akan menjadi cahaya bagi anak-anak yang kekurangan kasih sayang. Mereka akan menjadi harapan bagi anak-anak yang kurang beruntung memiliki orangtua yang kurang mengasihi dan menghargai mereka. Mereka akan menjadi penuntun dan penguat bagi anak anak yang penuh dengan beban dan tekanan yang mereka hadapi sehari-hari. Guru-guru yang bercahaya ini akan mendorong anak-anak kita untuk belajar disiplin, berkreasi, dan tumbuh sebagai manusia yang cerdas, santun dan bertanggung jawab, karena mereka memiliki contoh-contoh di depan mata mereka. Mereka akan belajar keduanya: berdisiplin, sekaligus mencintai.
Dalam penerapan “tough love” ini, para guru perlu membekali diri dengan ISADA (ikhlas, sabar dan damai) dalam menjalani profesi mereka, sehingga semuanya dilakukan dengan tanpa beban dan kesadaran penuh akan amanah yang mereka emban sebagai pendidik. Di bawah ini penulis menyampaikan beberapa manfaat akan penerapan “tough love” ini, sebagai berikut:
“Seuntai kasih membuat kita sayang,
seucap janji membuat kita percaya
Sekecil luka membuat kita kecewa,
sepucuk cinta membuat hidup lebih bermakna”
Semoga bukan luka yang kita torehkan di hati anak didik kita, tetapi cinta dan kasih yang dapat membuat hidup mereka lebih bermakna. Akhir kata, penulis ucapkan “selamat berkarya” bagi sahabat-sahabat guru yang dimuliakan Allah. Semoga kita semua mampu memuliakan anak didik kita dan menjadi inspirasi bagi anak didik kita agar mereka mampu menjadi insan yang luhur. Semoga semangat kita semua semakin menyala untuk memberikan yang terbaik bagi anak didik kita.
Tulisan ini dibuat oleh :
Diena Haryana
Ketua SEJIWA (Yayasan Semai Jiwa Amini)
Anak-anak sekarang lebih kritis, lebih terbuka, tidak mudah menerima masukan-masukan kecuali dengan cara yang mereka dapat terima. Dahulu, peranan guru dalam mendidik kita amatlah dominan, karena guru amatlah dihargai. Kini, anak-anak didik kita lebih ekspresif, dan cenderung hanya akan menghormati orang bila orang tersebut menunjukkan perilaku yang dapat mereka terima, termasuk guru-guru mereka.
Anak anak kita cukup banyak terekspos oleh tampilan-tampilan kekerasan di TV, kejadian-kejadian di rumah maupun di masyarakat yang mengutamakan kepentingan-kepentingan ego semata. Bahkan beberapa diantara mereka kehidupannya terekspos oleh koneksi dengan dunia luar melalui internet. Dari situ mereka belajar ekspresi ekspresi kasar maupun perilaku-perilaku yang tak sopan, dan nilai-nilai lain dari yang kita tanamkan di rumah. Bila orangtua tidak cukup akrab dengan putra-putri mereka, maka pengaruh-pengaruh luar ini akan membuat anak anak kita lebih sulit untuk dikontrol, yang memacu bullying untuk terjadi diantara mereka.
Tujuan kita mendidik anak di sekolah adalah untuk mengajak mereka mencapai aktualisasi diri mereka. Kita menginginkan mereka maju secara akademis, tetapi juga tumbuh subur keluhurannya (santun, peduli, bertanggung jawab, dan menghormati sesama).
Dengan kondisi lapangan yang tidak mudah seperti tergambar di atas, pertanyaan bagi kita, para pendidik adalah: “Bagaimanakah kita dapat menciptakan atmosfir di sekolah yang dapat menumbuhkan sekaligus mendisiplinkan anak didik?”; “Bagaimanakah kita dapat “mengontrol” anak anak kita, namun tetap dalam atmosfir yang membuat mereka terpacu belajar, dan mengembangkan rasa percaya diri serta kesantunan yang tinggi sebagai pembekalan agar mereka mampu berkiprah kelak di masyarakat secara efektif.
Terhadap pertanyaan di atas, beberapa guru menerjemahkannya melalui pendekatan yang salah. Mereka memukul maupun membentak anak-anak agar patuh. Mereka justru melakukan tindakan bullying kepada anak didik mereka. Jalan seperti ini justru menciptakan rasa takut yang menekan pada sebagian anak, maupun pemberontakan pada sebagian anak yang lain. Keduanya tak akan menimbulkan kepatuhan terhadap peraturuan-peraturan seperti yang kita harapkan.
Reaksi seorang anak ketika ia diminta menggambar sesuai apa yang ada pada benaknya (penelitian Plan Indonesia, 2006, di NTB), ia menggambar seorang tentara. Saat diskusi ia mengungkapkan alasannya bahwa dia ingin membalas memukul gurunya yang sering mengerasinya kalau ia jadi tentara. Dengan demikian, telah tergambar pada kita, betapa dalam memori negatif pada alam bawah sadarnya karena perilaku guru tersebut, sehingga ia menyimpan dendam seperti itu. Bila kekerasan bukanlah jawaban untuk mendisiplinkan anak didik kita, adakah jalan keluarnya?
Penulis ingin mengajukan usulan penerapan “tough love” di sekolah. “Tough love” didasari oleh penerapan nilai-nilai disiplin, respek, kesantunan dan kepedulian, baik dari guru terhadap anak dan sebaliknya. Pendekatan ini mengajak anak didik untuk menunjukkan standard prestasi yang tinggi, tetapi untuk mencapai hal ini guru juga menciptakan dukungan agar hal tersebut dapat dicapai. Pendekatan ini menuntut seorang guru untuk menjadi suri tauladan, yang mampu membangun dialog dan hubungan positif dengan anak didik, sembari mengatasi masalah-masalah disiplin secara langsung dengan cara yang adil dan menghargai. “Tough love” berbeda dengan sekedar menjadi “tough” (tegas).
“Tough love” melibatkan pendisiplinan yang positif dan mengembangkan anak didik, dimana mereka sadar akan kesalahan mereka, melalui proses dialog yang menyentuh mereka. Kesalahan-kesalahan mereka dikoreksi dengan cara yang tidak melecehkan mereka. Penalti yang dilakukan bisa cukup tegas bila pelanggaran cukup serius, misalnya dengan cara tak boleh mengikuti pelajaran untuk beberapa saat, dipanggil orang tuanya, atau tindakan tindakan lain yang lebih tegas. Yang terpenting adalah semua penalti tersebut dilakukan dengan tetap menerapkan nilai-nilai respek dan kesantunan.
Bila hal ini dilakukan secara konsisten oleh para guru, anak-anak didik kita akan dapat melihat bahwa guru-guru mereka sebenarnya peduli terhadap mereka, sekaligus ingin agar mereka sukses dan berkembang. Mereka akan dapat menerima ketegasan karena mereka dapat merasakan cinta pula dibalik itu. Mereka tidak akan melihat bahwa teguran yang dilakukan seperti itu akan melecehkan atau diluar proporsi yang seharusnya. Mereka akan merespek dan menyukai guru seperti ini, sehingga mereka akan dengan rela merubah perilaku negatifnya menjadi positif dan mudah diajak bekerjasama.
Hal ini akan memudahkan guru untuk mengontrol mereka hanya dengan kata-kata yang sederhana, namun akan didengar dan dituruti anak didik yang telah mempercayai dan merespek dirinya. Kombinasi antara “Love” dan “Toughness” (ketegasan) ini akan jauh lebih kuat dampak positifnya daripada sekedar menerapkan “toughness” saja. “Tough love” akan membentuk guru-guru yang selalu memandang perlu untuk menyentuh hati dan kalbu anak melalui sikap dan perilakunya yang penuh kebijaksanaan.
Mereka akan menjadi cahaya bagi anak-anak yang kekurangan kasih sayang. Mereka akan menjadi harapan bagi anak-anak yang kurang beruntung memiliki orangtua yang kurang mengasihi dan menghargai mereka. Mereka akan menjadi penuntun dan penguat bagi anak anak yang penuh dengan beban dan tekanan yang mereka hadapi sehari-hari. Guru-guru yang bercahaya ini akan mendorong anak-anak kita untuk belajar disiplin, berkreasi, dan tumbuh sebagai manusia yang cerdas, santun dan bertanggung jawab, karena mereka memiliki contoh-contoh di depan mata mereka. Mereka akan belajar keduanya: berdisiplin, sekaligus mencintai.
Dalam penerapan “tough love” ini, para guru perlu membekali diri dengan ISADA (ikhlas, sabar dan damai) dalam menjalani profesi mereka, sehingga semuanya dilakukan dengan tanpa beban dan kesadaran penuh akan amanah yang mereka emban sebagai pendidik. Di bawah ini penulis menyampaikan beberapa manfaat akan penerapan “tough love” ini, sebagai berikut:
- Atmosfir sekolah akan semakin damai bagi anak anak untuk belajar dan tumbuh.
- Guru-guru akan semakin merasakan keindahan dalam pelaksanaan tugas-tugas mereka sebagai panutan bagi anak didik mereka.
- Terciptanya anak didik yang dapat berinteraksi satu sama lain dengan penuh kesantunan dan kepedulian.
- Sekolah akan kondusif bagi tercapainya aktualisasi diri anak didiknya (cerdas, kreatif dan luhur).
- Anak didik akan memiliki kesan yang positif dan kuat akan sekolahnya.
- Sekolah akan menjadi contoh bagi para anak didiknya akan adanya “masyarakat kecil” yang nyaman dan penuh kasih sayang, sehingga mereka memiliki gambaran tentang masyarakat besar yang kita berharap dapat mereka ciptakan ketika mereka berkiprah kelak di masyarakat.
“Seuntai kasih membuat kita sayang,
seucap janji membuat kita percaya
Sekecil luka membuat kita kecewa,
sepucuk cinta membuat hidup lebih bermakna”
Semoga bukan luka yang kita torehkan di hati anak didik kita, tetapi cinta dan kasih yang dapat membuat hidup mereka lebih bermakna. Akhir kata, penulis ucapkan “selamat berkarya” bagi sahabat-sahabat guru yang dimuliakan Allah. Semoga kita semua mampu memuliakan anak didik kita dan menjadi inspirasi bagi anak didik kita agar mereka mampu menjadi insan yang luhur. Semoga semangat kita semua semakin menyala untuk memberikan yang terbaik bagi anak didik kita.
Tulisan ini dibuat oleh :
Diena Haryana
Ketua SEJIWA (Yayasan Semai Jiwa Amini)
Labels:
anak,
bullying,
kesehatan anak,
psikologi,
psikologi anak
Subscribe to:
Posts (Atom)